Rabu, 12 Maret 2014

Makna Petunjuk dan Agama Yang Benar

petunjukBismillahirrahmanirrahiim,

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah [Allah] Yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benaruntuk menampakkannya /memenangkannya di atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak suka” (QS. At-Taubah: 33)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan : “yang dimaksud al-huda/petunjuk adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ‘agama yang benar’ maksudnya adalah amal salih” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 50).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan : “yang dimaksud dengan al-huda/petunjuk adalah segala yang dibawa oleh Rasul yaitu berupa berita-berita yang jujur, keimanan yang sahih, dan ilmu yang bermanfaat. Adapun agama yang benar maksudnya adalah amal-amal salih lagi benar, amal-amal yang bermanfaat di dunia dan di akhirat” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 4/136).

Di dalam surat al-Fatihah yang setiap hari kita baca, kita memohon kepada Allah agar mendapatkan hidayah jalan lurus; yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah. Orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah itu maksudnya adalah ‘orang-orang yang memadukan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal salih’.

Adapun orang-orang yang dimurkai [al-maghdhubi 'alaihim] adalah orang yang mengambil ilmu namun meninggalkan amal. Kemudian, apabila orang itu mengambil amal namun meninggalkan ilmu, maka ini termasuk golongan orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin]. Demikian keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah (lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 50).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “di dalam firman-Nya [yang artinya] “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.” Terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya kenikmatan agama ini jauh lebih besar daripada kenikmatan dunia. Karena diantara orang-orang yang dimurkai dan tersesat itu ada yang diberikan kenikmatan-kenikmatan di dunia yang sangat besar oleh Allah. Akan tetapi nikmat-nikmat dunia ini semuanya tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan nikmat-nikmat agama” (lihat Ahkam min al-Qur’an al-Karim, hal. 36-37).

Ilmu Yang Bermanfaat

Apakah yang dimaksud ilmu yang bermanfaat? al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertanam di dalam hati dan ilmu yang hanya mampir di lisan. Ilmu yang tertanam di dalam hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu lisan itulah hujjah/bukti dari Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Hadiyah fi Mawa’izh al-Imam Ibni Taimiyah, hal. 130)

Kebutuhan hati terhadap ilmu dan iman jauh lebih besar daripada kebutuhan badan kepada makanan dan nafas. Ilmu bagi hati laksana air bagi ikan. Apabila ikan kehilangan air maka dia pasti mati. Oleh sebab itu pula Allah menamai ilmu sebagai obat. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasihat dari Rabb kalian dan obat bagi apa yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman” (QS. Yunus: 57)

Membersihkan jiwa dengan iman dan petunjuk jauh lebih sulit dan lebih berat daripada mengobati penyakit yang ada di dalam tubuh. Dan tiada jalan untuk membersihkan jiwa dan mewujudkan kebaikannya kecuali melalu jalan para nabi dan rasul (lihat Mausu’ah Fiqh al-Qulub, hal. 2012).

Dengan ilmu inilah seorang hamba bisa mendeteksi fitnah dan kerusakan semenjak awal kemunculannya. Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu bisa mengenali fitnah di saat kemunculannya. Apabila fitnah itu telah berlalu, maka orang yang berilmu dan jahil/tidak berilmu pun bisa sama-sama mengetahuinya.” (lihat al-Fitnah wa Atsaruha al-Mudammirah, hal. 218).

Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Sahihnya dengan judul Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan. Oleh sebab itu pula Allah menjadikan tugas para rasul adalah memberikan pelajaran dan ilmu kepada umat manusia. Allah ta’ala berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman, ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah [as-Sunnah]. Sementara sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata” (QS. Ali ‘Imran: 164).

Luqman al-Hakim berkata kepada putranya, “Wahai putraku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan hikmah sebagaimana menghidupkan tanah yang mati dengan curahan hujan deras dari langit” (lihat al-Fitnah, hal. 220).

Hakikat Amal Salih

Allah ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang sembari menasihatinya, “hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’ dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya. Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam keadaan ia tercampuri ujub” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578).

Mutharrif bin Abdillah asy-Syikhkhir rahimahullah berkata, “Baiknya hati dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 35).

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niatnya.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 35).

Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Tidaklah menjadi baik suatu amal tanpa tiga hal, yaitu: ketakwaan kepada Allah, niat baik, dan cara yang benar.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru lalu dia sandarkan kepada agama padahal tidak ada dasar rujukannya di dalam agama maka itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja apakah hal itu terjadi dalam masalah keyakinan/akidah ataupun amalan, atau dalam hal ucapan lahir maupun batin” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 26).

Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27).

Oleh sebab itu, Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Tiga hal yang menyebabkan amalan tidak akan diterima apabila disertai olehnya, yaitu; syirik, kekafiran, dan ra’yu.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud ra’yu.” Beliau menjawab, “Yaitu apabila dia meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya dan beramal dengan ra’yu/pendapatnya sendiri.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 359).

Amal adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dicapai semata-mata dengan menghiasi penampilan atau berangan-angan, akan tetapi iman adalah apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1124)

Oleh sebab itu para salaf kita merasa prihatin dengan amal mereka yang tak kunjung meningkat sementara ajal semakin dekat. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Tidaklah aku menyesali sesuatu sebagaimana penyesalanku terhadap suatu hari yang tenggelam matahari pada hari itu sehingga berkuranglah ajalku padanya sedangkan amalku tidak kunjung bertambah” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 2/11)

Perlu pula untuk kita sadari bersama, bahwa ucapan kita itu pun termasuk di dalam kategori amal yang harus dipertanggung jawabkan. Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengetahui bahwa ucapannya termasuk dari amalnya niscaya akan sedikit ucapannya kecuali dalam perkara yang penting baginya atau bermanfaat untuknya.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 2/72)

Oleh sebab itu pantaslah apabila Muhammad bin Wasi’ berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai Abu Yahya, menjaga lisan itu jauh lebih berat bagi manusia daripada menjaga dinar dan dirham.” (lihat Aina Nahnu min Haa’ulaa’i, 2/83).

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber : Muslim.Or.Id



Created with Artisteer

0 komentar: